Social Icons

Pages

Rabu, 18 Oktober 2017

AROMATISITAS

Senyawa organik  memiliki berbagai macam sifat yang dipengaruhi oleh bentuk strukturnya. Salah satunya adalah sifat fisik senyawa organik yang dapat menimbulkan bau atau aroma. Senyawa organik yang memiliki sifat kearomatikan (disebut juga aromatisitas) ditandai dengan struktur yang tersusun dari ikatan rangkap. Bedanya dengan alkana, ikata rangkap pada senyawa aromatis adalah ikatan rangkapnya terkonjugasi  dan cenderung tidak dapat mengalami reaksi adisi. Syarat suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aromatisitas berdasarkan strukturnya harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Senyawa tersebut harus siklik
2. Molekul tersebut harus datar (hampir datar) dengan hybrid yang umum adalah
                sp2
3. Setiap atom pada cincin harus memiliki orbital p  yang tidak terhibridisasi tersebut harus saling tumpang tindih membentuk cincin continue yakni orbital π
          4. delokalisasi dari elektron-elektron π pada cincin menurunkan energy elektronik
               dari sistem.
           5.  Memenuhi kaedah Huckel dengan sistem
(4n+2)eπ
                Dengan n = 0, 1, 2, 3,…,
                Dengan eπ adalah elektron pada ikatan π  yang terkonjugasi.
       Contoh pemenuhan kaedah Huckel yakni pada benzene yang merupakan senyawa aromatis dengan eπ=6 maka nilai n diperoleh dengan:
               6=4n+2
            6-2=4n
               4=4n
               n=1     (dengan nilai n= bilangan bulat, maka diperoleh bahwa benzene merupakan senyawa aromatis)  
Senyawa aromatik biasanya didefinisikan sebagai suatu senyawa yang sifatnya mirip dengan benzene. 
Hal ini menjadi terbentuknya kriteria untuk mengukur kemiripan yang di maksud. Yaitu:
  1. Senyawa aromatik berpusat pada stabilitas kinteik yang dimiliki oleh senyawa yang bersangkutan. Seperti halnya kelemahan terhadap reagensia yang bereaksi dengan ikatan  rangkap dan bahwa senyawa aromatic lebih menyukai reaksi substitusi dibandingkan adisi.
  2. Stabilitas termodinamik sebagaimana ditunjukkan oleh besarnya energy resonansi dimiliki.
  3. Konsep yang didasari sifat spektroskopik dan magnetic. Arus elektron π dapat menghasilkan     spectra elektronik yang secara signifikan berbeda dari spektra yang ditunjukkan oleh alkena       sederhana yang terkonjugasi.
Senyawa Heterosiklik Aromatis
       Senyawa heterosiklik membentuk golongan senyawa organik terbesar, dimana salah satu atom karbon atau hidrogen digantikan oleh atom lainnya, dengan berarti senyawa heterosiklik aromatik (heteroaromatik) merupakan senyawa aromatik yang mana tersatu unit atom karbon digantikan atom lainnya. pada klasifikasinya senyawa heteroaromatik terbagi menjadi dua dimana (1) senyawa yang menggunakan sepasang elektron bebas dari atom heterodalam pembentukan sistem  π  dan (2) senyawa yang tidak menggunakan sepasang elektron bebas dari atom heterodalam pembentukan sistem  π .Salah satu contoh jenis (1) yaitu pirol, tiofen dan furan. 

             Sedangkan untuk jenis kedua contohnya piridina yang satu unit CH digantikan oleh atom Nitrogen (N). Meskipun atom piridin memiliki elektron bebas pada nitrogen tetapi elektron bebas tersebut tidak terlibat dalam stabilitas aromatik.
    Pada atom nitrogen, seperti halnya karbon, terhibridisasi spdengan  satu elektron dalam orbital  tegak lurus pada bidang cincin. Jadi nitrogen menyumbang satu elektron pada enam elektron yang membentuk awan pi aromatik diatas dan dibawah bidang cincin (seperti ikatan C-H) dalam orbital sp2. piridin memiliki energi resonansi 27 kkal/mol dan biasanya lebih mudah tersubstitusi dibandingkan teradisi. Karena masih tersedia sepasang elektron bebas pada atom hetero nitrogen sehingga piridin bersifat basa. Dalam larutan asam , piridin terprotonasi membentuk ion piridium yang masih bersifat aromatik, karena tambahan proton yang diterimanya tidak menggangu sistem sektet aromatik yang telah ada. 

    Forum Diskusi: 
    Dari penjelasan tentang aromatisasi tersebut, mengapa senyawa aromatis cenderung lebih mengalami reaksi substitusi dibandingkan mengalami reaksi adisi?


DAFTAR PUSTAKA

   Hart, H., L. E. Craine dan D. J. Hart. 2003. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
   Sitorus, M. 2013. Kimia Organik Fisik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
   Tobing, R.L. 1989. Kimia Organik Fisik. Jakarta: Kemendikbud.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates